A B U Thalib Al-Makki (w. 386 H/966 M) adalah seorang sufi besar yang merintis tradisi intelektual dan penulisan pengetahuan ketasawufan di kalangan sufi. Ia bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin ‘Athiyah Al-Haritsi Al-Makki. Sejak masa mudanya ia dikenal sebagai orang yang haus ilmu dan menempuh jalan sufi (zuhud). Di kota kelahirannya, Makkah, ia belajar Al-Quran, tafsir, hadis, fiqih, dan tasawuf kepada beberapa ulama. Namun, kecintaannya kepada ilmu pengetahuan dan khususnya tasawuf mendorongnya untuk merantau ke Basrah lalu ke Bagdad, dua pusat kebudayaan Islam pada waktu itu. Ia pun mendalami ilmu agama dan melahirkan karya-utamanya, Qût Al-Qulûb fî Mu‘âmalah Al-Mahbûb wa Washf Tharîq Al-Murîd ilâ Maqâm Al-Tauhîd (Santapan Hati mengenai Muamalah Kekasih dan Penjelasan Jalan Murid Menuju Tataran Tauhid) sebuah karya tasawuf yang menyelaraskannya dengan syariat. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan bahwa tasawuf adalah inti sari syariat, dan amaliah para sufi adalah buah pelaksanaan syariat. Sebagai karya rintisan, Qût Al-Qulûb, karya Abu Thalib Al-Makki, sering dijadikan rujukan. Menurut sebagian ahli, puncak pembentukan literatur sufi terjadi pada masa Al-Qusyairi (465 H/1074 M), dengan karyanya yang berjudul Risâlah Al-Qusyairiyah. Risâlah ini banyak mengambil dari tulisan-tulisan awal, antara lain dari kitab Al-Luma’, karya Abu Nashr Al-Sarraj (w. 378 H/ 988 M), dan Qût Al-Qulûb, karya Abu Thalib Al-Makki. Bahkan, sebagian peneliti menilai bahwa mahakarya Hujjatul Islam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), berjudul Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, terpengaruh oleh karya Abu Thalib Al-Makki tersebut.
Shalat menurut Abu Thalib Al-Makki Bagi orang yang mengenal Allah (‘ârif ), setiap ucapan dalam shalatnya mengarah pada sepuluh tingkatan (maqâm) dan penyaksian (musyâhadah) kepada Allah, yaitu:
(1) mengimani (îmân),
(2) berserah diri (islâm),
(3) bertobat (taubah),
(4) bersabar (shabr),
(5) ridha (ridhâ),
(6) takut (khauf ),
(7) berharap (rajâ’),
(8) bersyukur (syukr),
(9) mencintai (mahabbah), dan
(10) bertawakal kepada-Nya (tawakkul).
Kesepuluh makna ini merupakan tingkatan-tingkatan keyakinan. Semua makna ini terkandung di dalam setiap kata yang dipersaksikan oleh orang yang akrab dan bermunajat kepada-Nya, serta diketahui oleh orang yang berilmu dan memahami arti kehidupan. Itu karena ucapan Kekasih dapat membangkitkan dan menggairahkan hati, yang hanya disadari oleh orang yang hidup, dan hanya dihidupkan oleh orang yang memenuhi seruan. Allah Swt. berfirman, Al-Quran itu hanyalah pelajaran dan kitab yang akan memberi
penerangan supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)
(QS Yâ Sîn [36]: 69, 70);
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul ketika Rasul menyuruh kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian ...
(QS Al-Anfâl [8]: 24).
Sepuluh makna penyaksian di atas hanya dialami oleh orang yang telah melewati sepuluh tingkatan yang disebutkan dalam Surah Al-Ahzâb. Tingkatan pertama adalah Muslimin (orang-orang yang berserah diri) dan tingkatan yang terakhir adalah dzâkirîn (orang-orang yang selalu mengingat Allah).
Setelah melewati tingkatan zikir (dzikr) dalam sepuluh penyaksian ini, dia tidak akan merasa bosan untuk bermunajat dan tidak merasa berat untuk menikmati dan memahaminya.
Dia merasa mudah berdiri untuk mendekati Tuhan yang dia sebutkan sifat-sifat-Nya dan menikmati indahnya kedekatan dengan-Nya. Dan dia tidak merasakan lamanya berdiri dalam shalat karena menikmati bacaan Al-Quran.
Dikisahkan bahwa apabila seorang-yang-yakin berwudhu untuk mendirikan shalat, setan-setan menjauh darinya hingga ke ujung bumi karena ketakutan. Itu karena dia sedang bersiap-siap untuk menemui Tuhan Yang Mahakuasa. Ketika bertakbir, tabir memisahkan iblis darinya, tirai menutupi pandangan iblis kepadanya, dan dia memandang wajah Tuhan Yang Mahaperkasa.
Ketika dia mengucapkan Allahu Akbar, Tuhan Yang Mahakuasa melihat isi hatinya. Di dalam hatinya tidak didapati sesuatu pun yang dipandang lebih besar daripada Allah.
Allah pun menyaksikan dan berkata, “Kamu benar. Aku hadir di dalam hatimu seperti yang kamu katakan.” Kemudian, terpancarlah cahaya dari dalam hatinya yang bersambung dengan Kerajaan Arasy. Dengan pancaran cahaya itu, dia dapat melihat kerajaan-kerajaan langit dan bumi, dan dituliskan baginya kebaikan sebanyak benda yang terliput cahaya itu.
Sebaliknya, apabila orang-yang-lalai berwudhu untuk shalat, setan-setan mengepungnya seperti lalat mengerubuti setetes madu. Ketika dia bertakbir, Tuhan Yang Mahakuasa melihat isi hatinya. Di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dipandang lebih besar daripada Allah Swt. Lalu, Allah berkata, “Kamu berbohong. Tidak ada kehadiran Allah Swt. di dalam hatimu seperti yang kamu katakan.” Kemudian, membubunglah asap dari dalam hatinya yang bersambung dengan awan di langit sehingga menutupi hatinya.
Takbir itu menyebabkan shalatnya ditolak, sementara setan terus-menerus membisikkan godaan ke dalam hatinya dan membuatnya waswas sehingga dia berpaling dari shalatnya dan tidak menyadari apa yang dilakukannya.
Dalam hadis disebutkan, “Seandainya setan tidak berkerumun di sekitar hati anak-anak Adam, niscaya mereka akan melihat kerajaan langit.”
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment