M U N G K I N Idries Shah berlebihan ketika mengatakan, “Bagi orang-orang Persia, Matsnawi (karya masterpiece Rumi) hanya berada di bawah Al-Quran dan hadis.” Namun, Jami’, seorang penyair besar Persia, menyatakan, “Matsnawi adalah Al-Quran dalam lisan Persia.” Kenyataannya, dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan bahwa Rumi yang lahir di Balkh (Asia Tengah) pada 1207 ini ternyata juga amat populer jauh sekali daripada di tempat-kelahirannya itu. Di AS dan Eropa saja abad ke-13, dia ternyata merupakan salah satu penyair-mistikus yang paling populer. Bukan hanya sebagian besar karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya malah dalam beberapa versi sekaligus. Tak kurang dari penyair-penyair terkemuka merelakan diri menjadi penerjemah karya-karyanya itu. Di hampir semua toko buku di mancanegara, berbagai terjemahan karyanya ini bisa ditemukan. Bahkan beberapa selebriti Hollywood membacakan syair-syairnya di pertemuan-pertemuan publik. Karena itu, tak aneh jika dikatakan bahwa banyak orang Amerika dan Eropa lebih kenal Rumi ketimbang Islam itu sendiri.
Kenyataan ini menunjukkan kebesaran orang yang bernama lengkap Jalaluddin Rumi. Selain murid-langsung seorang sufi-besar lain di wilayah itu Syams-i Tabrisi, yang disebutnya sebagai “Matahari-spiritualku” dia disebut-sebut sebagai penerus Ibn ‘Arabi, lewat murid dan anak-angkat sang Syaikh Agung yang menjadi sahabatnya: Shadr Al-Din Al- Qunawi. Itu sebabnya, di tengah syair-syair dan fabel-fabel menawan yang menyusun Matsnawi, orang tak sulit mendapati nuansa wahdah al-wujûd di dalamnya.
Rumi juga sering dikutip, dan menjadi favorit banyak orang, karena memberikan kesan mempromosikan semacam pluralisme agama, namun cukup potongan syairnya tentang Muhammad sebagai “Segel para Nabi” (khâtam al-anbiyâ’) bercerita sendiri:
Segel-segel yang ditinggalkan para nabi terdahulu
Telah dibuka oleh agama Ahmad
Dia perantara di dunia ini
Dan akhirat nanti Di dunia ini penunjuk ke agama hakiki
Di akhirat nanti syafaat untuk ke Surga Adni
Membaca Rumi, orang yang tak tahu juga bisa salah paham, menganggap dia seorang spiritualis yang tak mementingkan ritual. Mungkin salah satu sebabnya adalah karena orang lebih tertarik pada syair-syair mistik-ketuhanannya yang memang amat menawan hati. Apalagi mengingat bahwa tak sedikit syairnya sampai kepada kita melalui jalur Barat. Padahal, seperti dibilang Annemarie Schimmel, seorang ahli yang dianggap paling otoritatif tentang Rumi: “Meski boleh jadi ia menspiritualisasikan makna ibadah-ibadah eksternal (lahir), tak pernah ia menyangkal keniscayaan tata cara yang benar dalam melakukan shalat.” Baginya, ritual-ritual lahiriah adalah prasyarat bagi penghampiran batiniah (kepada Tuhan) ini berlaku baik bagi dalam shalat, sebagaimana dalam segenap aspek kehidupan.
Maulwi demikian Rumi digelari selalu memelihara aturan-aturan dalam ibadah dan memperingatkan para pengikutnya tentang tata cara yang benar dalam ibadah, sebagaimana dapat dipahami dalam karya-pentingnya yang lain: Fîhi mâ Fîhi. Di dalam salah satu syairnya, Rumi pernah juga mengecam orang yang mengganti-ganti bacaan wudhu yang bermakna lahiriah dengan suatu doa yang lebih mistikal. Bagi Rumi, tindakan seperti itu adalah tak pada tempatnya.
Shalat menurut Rumi
Bagi Rumi, “Shalat adalah ladang anggur”, pintunya adalah seruan “Allahu Akbar”, dinding-dindingnya adalah rukunrukunnya, dan kuncinya adalah “wudhu”. Tentang wudhu ini, dia bersyair:
Tak ada yang mukanya tak terbasuh ’Kan menyawang bidadari (di surga)
Sang Nabi sudah bersabda:
Tak ada shalat tanpa wudhu
Menurut Rumi, Surah Al-Fâtihah, yang pembacaannya merupakan rukun utama shalat, adalah cahaya bagi pancaindra kita. Dengan kata lain, cahaya bagi kehidupan manusia.
Nyalakan dian pancaindramu
Dengan cahaya hati
Indra-indra itu adalah shalat yang lima,
Dan hati adalah seperti sab‘ matsâni
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment