Ketahuilah, tidak diragukan lagi bahwa shalat adalah qurratu ‘uyûn (cahaya mata)-nya para muhibbîn (pencinta Allah), kenikmatan ruh para muwahhidîn (pengesa Allah), taman para ‘âbidîn (ahli ibadah), kenikmatan jiwa para khâsyi‘în (orangorang yang khusyuk), bukti keadaan (spiritual, hâl) para shâdiqîn (orang-orang yang benar), dan timbangan keadaan para sâlikîn (pejalan spiritual). Shalat adalah rahmat kasih sayang Allah yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Sebagaimana buah puasa adalah penyucian jiwa, buah zakat adalah penyucian harta, buah haji adalah jaminan ampunan, buah jihad adalah penyerahan diri kepada-Nya yang semuanya diberikan Allah Swt. untuk hamba-Nya dengan surga sebagai imbalannya maka buah shalat adalah menghadapnya hamba kepada Allah dan menghadapnya Allah kepada hamba. Dalam menghadap Allah terdapat semua buah amal perbuatan yang tersebut sebelumnya, dan semua buah amal perbuatan itu menghadap kepada Allah di dalam shalat.
Oleh karena itu, Nabi Saw. berkata, Qurratu ‘ainî (cahayamata)- ku bukanlah dalam puasa (meski puasa adalah termasuk ibadah yang paling utama), tidak juga di dalam haji, dan umrah, melainkan dalam shalat, sebagaimana sabdanya, “Dan qurratu ‘ain-ku terdapat di dalam shalat.” Maka renungkanlah perkataan Nabi itu: “Dan qurratu ‘ain-ku terdapat di dalam shalat,” (fî ash-shalâh) dan beliau tidak berkata “dengan shalat” (bi alshalâh).
Hal ini adalah pemberitahuan bahwa mata Nabi tidak akan bercahaya (bergembira) kecuali dengan memasuki shalat, sebagaimana mata pencinta yang bergembira bergaul dengan yang dicintainya, dan sebagaimana orang yang takut menjadi bergembira dengan memasuki daerah yang akrab dan aman
.... Ini sebabnya, kapan saja Nabi mengalami kesumpekan hati, beliau akan meminta kepada Bilal, “Wahai Bilal, senangkan kami dengan shalat.” (Maksudnya, beliau meminta Bilal untuk mengumandangkan azan atau iqâmah sebagai pendahulu shalat HB.)
Dengan melakukan shalat (hati), kita bisa beristirahat dari kerasnya kesibukan-kesibukan, seperti orang yang amat lelah beristirahat ketika dia sampai di tempat kediaman yang aman, kemudian berdiam diri di dalamnya, dan menjauhkan diri dari kesibukan yang membuatnya letih.
Dan renungkan bagaimana Nabi berkata, “Senangkan kami dalam shalat” dan tidak berkata, “Senangkan kami dari shalat” (min ash-shalâh), sebagaimana ucapan orang yang terbebani dan tertekan, yang tidak melaksanakan shalat kecuali dalam keadaan terpaksa. Bagi orang-orang seperti ini, selama melakukan shalat dia merasa tersiksa, namun ketika keluar darinya, hati dan jiwanya merasa lega. Hal itu karena hatinya penuh dengan berbagai kesibukan dan kesenangan duniawi, sedang shalat memutuskannya dari kesibukan-kesibukan dan kesenangan-kesenangan duniawinya itu. Maka wajarlah jika dia merasa tersiksa ketika melaksanakannya, sampai dia keluar darinya. Hal itu tampak jelas dari perilakunya dalam shalat, seperti main-main, terpalingkannya hati kepada selain Tuhan, dan meninggalkan thuma’nînah dan kekhusyukan .... Dia melaksanakannya secara sekadarnya, mengucapkan dengan lisannya apa yang sebenarnya tidak ada di dalam hatinya, seraya berkata dalam hati: “Nanti setelah selesai shalat, aku akan
beristirahat darinya,” dan bukannya justru beristirahat dalam shalat itu sendiri ....
Ada perbedaan antara shalat yang dirasakan sebagai belenggu kuat untuk anggota-anggota badan atau penjara sempit untuk hati, ataupun penghambat bagi jiwa, dan shalat yang dirasakan sebagai hal yang memberi kenikmatan kepada hati, sebagai cahaya (kegembiraan) bagi mata, sebagai relaksasi bagi anggota-anggota badan, dan taman yang asri untuk jiwa.
Yang pertama, shalat dianggap sebagai penjara jiwa, pengikat bagi anggota-anggota badan agar tidak terlibat dengan sumber-sumber kerusakan. Terkadang dengan shalat dia mendapatkan takfîr (pengingkaran terhadap kerusakan-kerusakan itu) dan pahala, atau terkadang mendapatkan rahmat sebesar penghambaan kepada Allah Swt., dan terkadang pula dihukum atas apa yang kurang dari (tingkat) penghambaan (yang seharusnya).
Yang kedua, shalat dianggap sebagai taman baginya, yang di dalamnya dia merasakan hatinya beristirahat, yang menjadi qurratu ‘ain-nya, kenikmatan jiwanya, tempat istirahat bagi anggota-anggota badannya, dan telaga bagi (kegersangan) ruhnya ....
(Demikianlah ....) Apabila hamba telah tegak berdiri di hadapan Allah, bertakbir kepada-Nya, menghadap kepada keperkasaan dan keagungan-Nya ... sesungguhnya dia sedang menghadap kepada kemahabesaran, keagungan, dan keluhuran- Nya. (Selanjutnya), hamba menghadap kepada Allah dalam
iftitâh (doa setelah takbir sebelum membaca Al-Fâtihah) dengan membaca tasbih kepada-Nya, mengagungkan-Nya, dan menyucikan- Nya dari apa yang tidak layak bagi-Nya, serta menyanjung-
Nya dengan sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya.
Ketika kemudian hamba memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk (yakni membaca ta‘awwudz), maka hamba menghadap kepada rukn (pilar)-Nya yang kuat, kepada kekuasaan, pertolongan, dan perlindungan Allah, serta penjagaan dari musuh-Nya. Dan apabila hamba membaca kalam-Nya (yakni surah-surah dalam Al-Quran), dia mendapatkan pengetahuan-Nya di dalam kalam-Nya, seakan-akan dia melihat dan menyaksikan Allah di dalam kalam-Nya. Sebagaimana dikatakan Imam Ja‘far Al-Shadiq: “Sungguh, Allah telah nyata bagi hamba-hamba-Nya di dalam kalam-Nya ....”
Apabila hamba ruku‘, dia menghadap kepada kebesaran, keagungan, dan keperkasaan-Nya. Oleh karenanya, disyariatkan baginya di dalam ruku‘ membaca:
Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung. Ketika mengangkat kepalanya dari ruku‘, dia menghadap kepada-Nya dalam pujian, penyanjungan, pengagungan, dan penghambaan kepada-Nya ....
Ketika sujud, hamba menghadap kepada-Nya dalam pendekatan, ketundukan, perendahan diri, kebergantungan kepada- Nya, dan peleburan diri di hadapan-Nya, serta penundukan
diri pada-Nya.
Ketika hamba mengangkat kepalanya dari sujud sembari bersimpuh, dia menghadap kepada kemahakayaan, kemurahan, dan kemuliaan Allah, dalam keadaan sangat butuh kepada hal-hal tersebut, tadharru‘ (rendah hati) dan lebur di hadapan- Nya, agar Dia memberinya ampunan, rahmat, petunjuk, dan rezeki.
Pada saat duduk dalam tasyah-hud (tahiyyat akhîr), hamba mengalami suasana yang menyerupai apa yang dialaminya dalam thawâf wadâ‘. Maka ketika setelah shalatnya selesai hatinya harus berpaling dari hadapan Tuhannya menuju pada kesibukan-kesibukan dunia, yang menyebabkannya terhenti menghadap Tuhannya, hati sang hamba pun merasakan sakit dan tersiksa. Hingga ia masuk ke dalam shalat lagi setelah itu.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment